Cara Penjajah Belanda Mentertawakan Pribumi

Oleh Feri Irawan*

Setiap tahun, biasanya sekitar selama seminggu sebelum tanggal 17 Agustus, selalu ada lomba-lomba yang diselenggarakan baik oleh sekolah, instansi atau masyarakat di setiap kampung. Salah satu lomba yang paling populer dan seolah dilestarikan adalah lomba Panjat Pinang.

Sebuah pohon pinang yang cukup tinggi dan batangnya dilumuri oleh pelumas disiapkan lebih dahulu oleh panitia perlombaan. Di bagian atas atau puncakbatang pohon tersebut disediakan berbagai macam hadiah menarik. Para peserta berlomba untuk mendapatkan hadiah-hadiah yang ada dengan cara memanjat batang pohon tersebut.

Kala itu panjat pinang dan lomba-lomba yang lainya seperti tarik tambang, balap karung dan lain-lain diadakan di tanah air ketika mereka menggelar pesta perayaan sebagai hiburan. Belanda memberikan banyak hadiah, gula kopi, roti, aneka makanan, beragam pakaian, dll.

Untuk mendapatkan hadiah tersebut pribumi harus saling memijak kepala, terkadang jatuh dan bangun lagi. Sementara para Meneer tertawa terbahak-bahak melihat pribumi yg bermati-matian untuk mendapatkan hadiah tersebut.

Di sinilah pribumi dilecehkan marwahnya. Orang-orang pribumi yang berusaha mati-matiaan, saling pijak, jatuh bangun, memanjat tiang yang licin, dan ini sebagai hiburan tersendiri bagi orang kuffar Belanda. Mereka memandang pribumi sebagai lucu karena mau saling memijak untuk mendapatkan barang yang sama sekali tiada berharga bagi mereka.

Sebagai referensi, merujuk tulisan Lloyd Bradley dalam bukunya berjudul The Rough Guide to Cult Sport bahwa menonton rakyat jelata saling menginjak memperebutkan hadiah yang tak mampu mereka dapatkan menjadi hiburan bagi kolonial Belanda saat itu, sehingga menjadi bahan tertawaan

Demikian juga lomba lainnya. Bayangkan, anak gadis, para ummu ikut lomba balap karung, tarik tambang, ada yang jatuh terjungkal, aurat tersingkap berantakan, jadi tontonan publik, jadi bahan tertawaan, jadi bahan lucu-lucuan. Dimanahkah rasa malu dan izzah itu? 

Kemungkinan juga saat ini, setiap kaliperayaan 17 Agustus, orang-orang Belanda masih tertawa terbahak-bahak, menyaksikan bahwa acara yang pernah mereka buat dengan tujuan melecehkan bangsa Indonesia, ternyata justru dilestarikan.

Haruskah kita mengisi perayaan kemerdekaan dengan dosa dan maksiat. lalu kapan kita berfikir agar perayaan ini bisa mendatangkan manfaat bukan mudharat? 

Atas dasar inilah, menyambut peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan Taushiyah Nomor 6 Tahun 2025 yang berisi pedoman pelaksanaan peringatan hari bersejarah tersebut.

MPU Aceh menghimbau masyarakat setempat untuk tidak memeriahkan peringatan HUT ke-80 RI dengan kegiatan yang merendahkan martabat, seperti panjat pinang, tapi lebih kepada memfokuskan kegiatan pada hal-hal yang bermanfaat, seperti pemasangan bendera, upacara pengibaran bendera, taushiyah, ziarah makam pahlawan, tafakkur, dan doa bersama. Sepakat ya. 

*Penulis adalah Kepala SMKN 1 Jeunieb

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama